ETIKA DALAM BISNIS
MAKALAH ETIKA DALAM BISNIS
Norma Moral Dalam Etika Bisnis Internasional
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Etika Dalam Bisnis
Disusun Oleh :
Ija 201314500392 ( Kelas XT )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA (UNINDRA) PGRI
JAKARTA
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyusun makalah ini.
Makalah ini berjudul “Norma Dalam Etika Bisnis Internasional”
yang disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika Dalam Bisnis.
Penulis sudah berusaha menyusun makalah ini
sebaik mungkin, akan tetapi penulis menyadari kesalahan baik yang sengaja
ataupun tidak sengaja, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Namun berkat arahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak sehingga makalah ini
dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan dan bimbingan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya. Amiin...
Jakarta, februari
2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Etika
bisnis merupakan cara untuk
melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan
individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan
dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam
membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang
saham, masyarakat.
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang
untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang
merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia
bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang
menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok
masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu
tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan. Etika di dalam bisnis dunia internasional sudah tentu harus
disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok
yang terkait lainnya.
Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya
masih membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah
“orang dari negeri asing”. Dengan saran transportasi dan komunikasi yang kita
miliki sekarang, bisnis internasional bertambah penting lagi. Berulang kali
dapat kita kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi:
kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum
dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang
surutnya pasar ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun
negatif.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok
sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika
terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek
etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa
masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
Secara sederhana etika bisnis dapat
diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum.
Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat
menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat
penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya.
Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum
sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Norma-norma
Moral yang umum pada taraf Internasional
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti
serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma
moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-norma moral
relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa
norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi,
pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba
kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis internaasional.
Apa yang harus kita lakukan ,jika norma di Negara lain berbeda dengan norma
yang dianut sendiri? Richard De George membicarakan tiga jawaban atas
pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan di atas sebagai
berikut :
a. Menyesuaikan
Diri
Untuk
menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan peribahasa**Kalau
di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma** Artinya perusahaan
harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama
dengan peribahasa orang Indonesia **Dimana bumi dipijak, disana langit
dijunjung**. Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia.
Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai
tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma
sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di
satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat
tidak sopan.
b. Regorisme
Moral
Pandangan
kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”,
karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya
sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh
melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh
menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka
berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin
menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran
yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita
harus konsisten dalam perilaku moral kita.
Norma-norma
etis memang bersifat umum.Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik
dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral
kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan
etis.
c. Imoralisme
Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak
perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di
negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral.
Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang
merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.
Kasus Bisnis
dengan Afrika Selatan yang rasistis
Menurut K Bertenz, tiga jawaban yang
diberikan oleh George harus ditolak karena tidak mungkin bisa bertahan. Jawaban
“imoralisme naif’ harus kita tolak begitu saja. Sedangkan untuk “menyesuaikan
diri” kita harus menghrgai perhatian George untuk peranan institusi.
Sedangkan untuk “rigorisme moral” dianggap Bertenz terlalu ekstrem dalam
menolak pengaruh situasi, namun ada sedikit kebenaran yang tertuang, yaitu
bahwa seharusnya kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah apabila
berangkat bisnis ke luar negeri.
Dalam etika, prinsip moral hampir tidak bisa
diterapkan secara mutlak, karena situasi konkret seringkali sangat kompleks.
Seringkali yang dilakukan adalah dengan cara mencari jalan tengah dari beberapa
solusi ekstrem. Salah satu contoh adalah bisnis internasional dengan Afrika
Selaran sampai Negara itu meninggalkan politiknya yang rasistis. Disini kita
mencari jalan tengah dari dua pilihan ekstrim “menyesuaikan diri “ dengan
“rigorisme moral”.
Afrika selatan mempunyai system politik yang
didasarkan atas diskrimasi ras (apartheid) kulit hitam dengan kulit putih.
Sistem politik ini didasarkan pada Undang-Undang Afrika Selatan sejak tahun
1948. Saat itu, banyak perusahaan yang menghadapi dilemma antara menhentikan
hubungan bisnis dengan Afrika Selatan atau menyesuaikan diri dalam suatu
keadaan yang tidak etis (diskriminasi ras).
Dalam mencari jalan keluar dari masalah ini,
banyak perusahaan Barat brpegang pada prinsip-prinsip Sulivan, dimana
perusahan-perusahaan tidak akan menerapkan undang-undang apartheid, karena
dinijlai tidak adil, dan juga perusahaan akan berusaha agar undang-undang
apartheid dihapus.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral bias
diterapkan dengan mutlak, karena kondisi konkret sering kali sangat
kompleks. Hal ini dapat diilustrasikan pada bisnis internasional dengan Afrika
Selatan yang mempunyai sistem politik didasarkan pada diskriminasi
ras (Apartheid) bahkan sistem Apartheid ini didasarkan atas
Undang-undang Afrika Selatan sejak 1948.
Kebijakan Apartheid Afrika Selatan
menimbulkan kesulitan moral untuk perusahaan asing yang mengadakan
bisnis di Afrika Selatan karena mereka wajib mengikuti sistem Apartheid. Dalam
mencari jalan keluar dari dilema ini banyak perusahaan Barat memegang pada The
Sullivan Principles yang dirumuskan dan dipraktekkan oleh Leon Sullivan.
Prinsip-prinsip Sullivan :
1. Leon
Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-undang Apartheid.
2. Menghapus
undang-undang Apartheid.
B. Masalah
“Dumping” dalam Bisnis Internasional
Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis
internasional adalah dumpin produk, karena praktek kurang etis
ini secara khusus berlangsung dalam hubungan dengan negara lain. Yang
dimaksudkan dengan dumping adalah
menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga
di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Dapat
dimengerti bahwa yang merasa keberatan terhadap praktek dumping ini
bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara
di mana dumping dilakukan. Para konsumen justru merasa
beruntung – sekurang-kurangnya dalam jangka pendek – karena dapat membeli
produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian, karena
tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.
C. Aspek
etis dari Korporasi Multinasional
Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia
adalah korporasi
3
multinasional,
yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya adalah
perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi,
perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian
belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang
memilki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda.
Biasanya perusahaan-perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian
dimiliki oleh orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang
umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk
pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat.
Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, General Motors, IBM,
Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang memiliki kegiatan di seluruh dunia dan
menguasai nasib jutaan manusia.
Di
bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang
terpenting bagi KMN.
a. Koorporasi
multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
Dengan
sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang
tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila
KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan
sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti
rugi.
b. Koorporasi
multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
negara dimana mereka beroperasi.
Hampir
semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak tekecuali. Norma
kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi akibat- akibat
jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan
sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus melebihi yang
negatif.
c. Dengan
kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada
pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN
harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN harus bersedia
melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
d. Koorporasi multinasional
harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN
harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.
e. Sejauh
kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional
harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan
menantangnya.
KMN
akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati
kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai
budaya stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
f. Koorporasi
multinasional harus membayar pajak yang “fair”
Setiap
perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang telah
ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan
dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh
perusahaan- perusahaan internasional.
g. Koorporsi
multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkn
dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
Yang
dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur serta
memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
h. Negara yang
memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan
harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan
tersebut.
Norma
ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik mayoritas
saham.
i. Jika
suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang
membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka prosedur-
prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung
jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina secara sebaik
mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
j. Dalam
mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi
multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga
dapat dipakai dengan aman dalam negara yang belum berpengalaman.
Menurut
norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin, teknologi
harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga terjamin
keamanan optimal.
D. Masalah
Korupsi dalam taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada
taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi
dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.
Korupsi dapat menimbulkan masalah besar bagi
bisnis internasional karena disatu negara dapat saja dipraktekkan sesuatu yang
tidak dapat diterima negara lain.Dan di sini timbul pertanyaan, tidak kah orang
harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan negara tertentu untuk mencapai kesuksesas – yang termasuk
budaya suap? Uang suap tidak dapat dibenarkan, dengan beberapa
alasan berikut:
* Praktek suap melanggar etika pasar. Kalau
seseorang terjun dalam bisnisyang didasarkan pada prinsip ekonomi pasar, maka
Ia harus berpegangan pada aturan main yang berlaku.
* Dalam system ekonomi, orang akan mendapat bayaran
bila Ia bekerja. Maka tidak etis bila seseorang yang tidak berhak, menerima
imbalan pula.
* Uang suap demi memonopoli alokasi persediaan yang
terbatas, akanmengacaukan system pasar dan keseimbangan pasar. Dengan
sendirinya juga melanggar etika pasar bebas yang seharusnya dianut dalam
bisnisinternasional.
Skandal Suap Leockheed
Lockheed adalah produsen pesawat terbang Amerika
Serikat yang melakukan suap ke berbagai Negara dengan tujuan agar produknya
dapat di pasarkan, lalu terbulaka kasus ini dan dimuat diberbagai media massa
yang menimbulkan reaksi cukub hebat.
Lockheed
merasa keberatan dengan Undang-undang anti suap di Amerika. Terdapat dua
keberatan yang sering ditemukan yaitu :
1. Undang-undang
ini mempraktekkan semacam imprealisme etis.
2. Undang-undang
ini merugikan bisnis Amerika, karena melemahkan daya saingnya.
Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?
Ada
beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap bertentangn dengan
etika.
1. Bahwa
praktek suap itu melanggar etika pasar. Denagan adanya praktek suap,daya – daya
pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang sedikit pun dapat mempengaruhi proses
penjualan.
2. Bahwa
orang yang tidak berhak, mendapat imbalan juga.
3. Banyak
kasus lain di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Pembagian
barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu
diterima oleh orang yng tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang
berhak tidak kebagian.
4. Bahwa
praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal
lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang
menerimanya tidak bisa membukukkan uang suap itu seperti mestinya.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok
sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika
terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek
etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa
masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Simpulan
Ketika bicara soal etika dalam bisnis maka
kita akan bicara soal moral yang bersumber didalam hati nurani manusia.
Berbisnis merupakan suatu aktifitas didalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia
diperlukan kode etik sebagai batas-batas dalam manusia berbisnis.
Etika
bisnis dapat didefinisikan sebagai suatu standar atau prinsip moral yang
diterapkan di dalam lembaga atau organisasi bisnis dan perilaku yang dapat
diterima (benar) atau tidak dapat diterima (salah) dari orang-orang yang
bergerak di dunia bisnis. Sedangkan, etika bisnis internasional terkait dengan
standar moral yang diterapkan di dalam kegiatan bisnis internasional.Sebagai
suatu ilmu, etika bisnis merupakan ilmu yang mempelajari secara khusus standar
moral tersebut dan melakukan analisis dan evaluasi dari keputusan-keputusan
bisnis didasarkan pada konsep dan penilaian moral.
Diperlukan etika dalam
berusaha atau berbisnis, karena praktik usaha yang tidak etis dapat menimbulkan
kegagalan pasar, mengurangi produktivitas dan meningkatkan ketidakefisienan. Bisnis memainkan peranan untuk meningkatkan kehidupan
semua pelanggan, karyawan dan pemegang saham dengan membagikan kekayaan yang
diciptakannya. Para pemasok dan pesaingpun berharap bahwa organisasi-organisasi
bisnis menghormati kewajiban-kewajiban mereka dengan semangat kejujuran dan
keadilan. Sebagai warga yang bertanggung jawab dari komunitas lokal, nasional,
regional dan global dimana mereka beroperasi, organisasi-organisasi bisnis ikut
serta dalam menentukan masa depan komunitas-komunitas itu.
Daftar Pustaka
http://wahonodiphayana.blogspot.com/2014/12/masalah-etika-dalam-bisnis-internasional.html
9
Komentar
Posting Komentar